Beranda Keutamaan Cara I’tikaf Di Bulan Ramadan Sesuai Syariat

Cara I’tikaf Di Bulan Ramadan Sesuai Syariat

123
0
Cara Itikaf Di Bulan Ramadan Sesuai Syariat

Aminsaja.comCara I’tikaf Di Bulan Ramadan Sesuai Syariat. Di antara rangkaian amalan sunah di bulan Ramadan adalah beri’tikaf di dalam Masjid. I’tikaf dalam Masjid termasuk amalan sunah yang bisa dilakukan kapan saja, tetapi di bulan Ramadan, lebih dianjurkan, terutama di sepuluh malam terakhir.

Keutamaan pun sangat besar, terlebih menjadi bagian dari upaya meraih keutamaan Lailatul Qadar. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyatakan, bahwa i’tikaf di sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan bagaikan beri’tikaf bersama beliau. Keterangan sebagai berikut:

مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ

Artinya: “Barangsiapa yang ingin beri’tikaf bersamaku, maka beri’tikaflah pada sepuluh malam terakhir,”  (HR Ibnu Hibban).

Secara terminologi, i’tikaf adalah berdiam diri di masjid disertai dengan niat. Tujuannya adalah semata beribadah kepada Allah SWT khususnya ibadah yang biasa dilakukan di masjid. Demi meraih keutamaan yang lebih besar, seseorang tentu dapat memperbanyak ragam niatnya, seperti berniat mengunjungi dan menghormati  masjid sebagai rumah Allah SWT, berzikir dan mendekatkan diri kepada-Nya, mengharap rahmat dan rida-Nya, bermuhasabah, mengingat hari akhir, mendengarkan nasihat dan ilmu-ilmu agama, bergaul dengan orang-orang yang saleh dan cinta kepada-Nya, memutus segala hal yang dapat melupakan akhirat, dan sebagainya.    

I’tikaf dapat dilakukan setiap saat, termasuk pada waktu-waktu yang diharamkan salat. Hukum asalnya adalah sunah, tapi bisa menjadi wajib apabila dinazarkan. Kemudian, hukumnya bisa menjadi haram bila dilakukan oleh seorang istri atau hamba sahaya tanpa izin, dan menjadi makruh bila dilakukan oleh perempuan yang bertingkah dan mengundang fitnah meski disertai izin.  Melakukannya pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, lebih diutamakan utama dibanding pada waktu-waktu yang lain, demi menggapai keutamaan Lailatul Qadar yang waktunya dirahasiakan Allah SWT. Karena dirahasiakan itulah, maka siapa pun kita harus senantiasa mengisi malam-malam Ramdan dengan berbagai amaliah, baik wajib maupun sunah, dengan tujuan agar tidak terlewatkan. 

Adapun rukun i’tikaf sendiri ada empat:

1. Niat.

2. Berdiam diri di masjid sekurang-kurangnya selama tumaninah salat.

3. Harus masjid.

4. Orang yang beri’tikaf.

Kemudian, syarat orang yang beri’tikaf adalah beragama Islam, berakal sehat, dan bebas dari hadas besar. Artinya, tidak sah i’tikaf dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat tersebut.

Saat berniat, seorang yang beri’tikaf harus menyebutkan status fardhu i’tikafnya apabila i’tikaf tersebut dinadzarkan. Dan berdasarkan pendapat kuat, seluruh i’tikaf itu menjadi fardhu, baik ditentukan lamanya maupun tidak.

Adapun macam-macam I’tikaf ada tiga:

1. I’tikaf mutlak

2. I’tikaf terikat waktu tanpa terus-menerus

3. I’tikaf terikat waktu dan terus-menerus.

I’tikaf mutlak walaupun lama waktunya cukuplah berniat sebagai berikut:

نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى  

Artinya: “Aku berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah.”  

Niat i’tikaf yang terikat dengan waktu, selama satu bulan misalnya, niatnya adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا لِلهِ تَعَالَى   

Artinya: “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah.”

نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا

Artinya: “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah.”

Niat i’tikaf yang dinadzarkan adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى

Artinya: “Aku berniat i’tikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”

نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فَرْضًا للهِ تَعَالَى 

Artinya: “Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah.”

Hanya saja, dalam i’tikaf mutlak, jika seseorang keluar dari masjid tanpa maksud kembali, kemudian kembali, maka ia harus berniat lagi. Dan i’tikaf keduanya dianggap sebagai i’tikaf baru. Berbeda halnya jika ia berniat kembali, baik kembalinya ke masjid semula maupun ke masjid lain, maka niat sebelumnya tidak batal dan tidak perlu niat baru.

Adapun yang membatalkan i’tikaf ada sembilan:

1. Berhubungan suami-istri

2. Mengeluarkan sperma

3. Mabuk yang disengaja

4. Murtad

5. Haid

6. Nifas

7. Keluar dari masjid tanpa alasan

8. Keluar untuk memenuhi kewajiban yang bisa ditunda

9. Keluar disertai alasan hingga beberapa kali, padahal keluarnya karena keingingan sendiri.

Apabila di antara kesembilan perkara itu menimpa seseorang yang beri’tikaf maka batallah i’tikafnya. Dan batal pula kelangsungan dan kelanggengan i’tikaf yang terikat dengan waktu yang berturut-turut. Sehingga seseorang harus mengawalinya dari awal, meskipun i’tikaf yang telah dilakukannya bernilai pahala selama yang membatalkannya bukan murtad. Sedangkan dalam i’tikaf yang terikat waktu yang tak berturut-turut, maksud batal di sana adalah waktu batal tidak dihitung sebagai bagian dari i’tikaf. Jika ia memulainya lagi, hendaknya memperbaharui niat dan menggabungkannya dengan i’tikaf sebelumnya. Kemudian, dalam i’tikaf mutlak, maksud batal di sana hanya terputus kelangsungan i’tikafnya saja, sehingga tidak bisa di sambungkan dengan i’tikaf sebelumnya, tidak pula bisa diperbaharui. Namun, i’tikaf itu dianggap sah dan berdiri sendiri-sendiri.  Demikian sekilas tentang i’tikaf yang dijelakan dari Bâb al-I‘tikâf dalam kitab Nihayah Al-Zain fii Irsyad al-Mubtadi’in karya Syekh Muhammad ibn ‘Umar Nawawi al-Bantani (Terbitan Darul Fikr, Beirut, Cetakan Pertama, halaman 197).

Wallahu A’lamu Bissowab  


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here