Aminsaja.com – Hadits Tentang ulama Dan Umara. Di tengah hiruk-pikuk fitnah akhir zaman, umat Islam merindukan sosok ulama yang dapat memberikan penerangan untuk melewati kegelapan dan suramnya fitnah. Namun sangat disayangkan, kadangkala sosok seorang ulama yang oleh kita dijadikan panutan, namun ia tidak dapat memberikan yang kita harapkan, malah ia mengeluarkan syubhat-syubhat yang membingungkan umat, hal itu dikarenakan kedekatan mereka dengan para penguasa. Padahal jauh sebelum itu Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya akan hal ini. Sebagaimana disebutkan pada hadits sebagai berikut:
وأخرج أحمد في مسنده، والبيهقي بسند صحيح، عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « من بدا جفا، ومن اتبع الصيد غفل، ومن أتى أبواب السلطان افتتن، وما ازداد أحد من السلطان قرباً، إلا ازداد من الله بعداً
Artinya: “Dari Abi Hurairah radiallahu anhu, Rasulullah SAW bersabda, “Barang Siapa yang tinggal di pedalaman maka perangainya keras, dan barang siapa yang sibuk dengan berburu, maka akan lalai, dan barang siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa terkena fitnah, tidak ada seseorang semakin dekat dengan penguasa, maka akan bertambah jauh dari Allah.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Suatu ketika, Imam Malik diminta Khalifah Harun Ar-Rasyid berkunjung ke istana dan mengajar hadist kepadanya. Maka ia menolak untuk datang, bahkan bukan hanya menolak datang, tapi ulama yang bergelar Dar Al Hijrah itu, malah meminta agar Khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar. “Wahai Amirul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi”, ucap Imam Malik. Dan, akhirnya Harun Ar-Rasyid yang datang ke rumah Imam Malik untuk belajar.
Demikianlah sikap Imam Malik, ketika berhadapan penguasa yang adil sekali pun seperti Harun Ar-Rasyid, tetap diberlakukan sama dengan para pencari ilmu lainnya dari kalangan rakyat jelata.
Karena mayoritas ulama salaf melarang mendatang ke pintu-pintu penguasa baik diundang atau tidak. Sebagaimana diterangkan sebagai berikut:
ذهب جمهور العلماء من السلف، وصلحاء الخلف إلى أن هذه الأحاديث والآثار جارية على إطلاقها سواء دعوه إلى المجيء إليهم أم لا، وسواء دعوه لمصلحة دينية أم لغيرها. قال سفيان الثوري: « إن دعوك لتقرأ عليهم: قل هو الله أحد، فلا تأتهم » رواه البيهقي
Artinya: “Mayoritas ulama salaf dan orang saleh dari kalangan khalaf berpendapat bahwa hadits-hadits dan atsar di atas berlaku secara mutlak, baik ia diundang untuk mendatanginya atau tidak, baik ia diundang untuk kemaslahatan dunia atau lainnya. Sufyan Ats-Tsauri berkata, “ jikalau penguasa mengundangmu untuk mengajari mereka qul huwa llahu ahad, maka jangan engkau datangi.” (HR. Baihaqi).
Suatu saat Harun Ar-Rasyid meminta kepada Abu Yusuf, ia menjabat sebagai qadhi negara waktu itu, untuk mengundang para ulama hadist agar mengajar hadist di istananya. Tapi tidak ada yang menanggapi undangan itu. Kecuali dua ulama, yaitu Abdullah bin Idris dan Isa bin Yunus, mereka bersedia mengajarkan hadist, tapi dengan syarat, belajar harus dilaksanakan di rumah mereka, dan tidak di istana. Kemudian, kedua putra Harun Ar-Rasyid, Al Amin dan Al Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris. Dan mendapat seratus hadist. Selanjutnya, pergi menuju ke Isa bin Yunus. Usai belajar, Al Makmun memberikan hadiah 10 ribu dirham, dan Isa bin Yunus menolaknya seraya ia berkata, “Hadist Rasulullah SAW tidak untuk mendapatkan apa-apa, walau hanya segelas air untuk minum”.
Para ulama dalam kitab Adab As-Syari’iyah, menegaskan bahwa kedekatan ulama dengan penguasa bisa menimbulkan fitnah. Menurut Abu Hazim, ulama di masa tabi’in, menyatakan, di masa sebelum beliau, jika umara mengundang ulama, ulama tidak mendatanginya. Jika umara memberi, ulama tidak menerimanya. Jika mereka memohonnya, mereka tidak menurutinya. Kemudian, para penguasa yang mendatangi pintu-pintu ulama dan mereka bertanya. (Riwayat Abu Nu’aim). Dalam hadits Rasulullah SAW menjelaskan sebagai berikut:
أخرج الطبراني في « الأوسط » بسند رواته ثقات، عن ثوبان رضي الله عنه مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: يا رسول الله من أهل البيت أنا؟ فسكت، ثم قال في الثالثة: « نعم ما لم تقم على باب سدة، أو تأتي أميراً فتسأله قال الحافظ المنذري في « الترغيب والترهيب » المراد بالسدة هنا، باب السلطان ونحوه
Artinya: “Dari Tsauban radiallahu anhu berkata,” Ya Rasulullah, apakah saya termasuk ahli bait?” Rasulullah SAW pun diam, sampai pada ketiga kali,beliau menjawab, “ya selama engkau tidak berdiri pada pintu penguasa, atau mendatangi penguasa dan meminta padanya.” (HR. Thabrani dalam Al Ausath).
Kenapa para ulama harus bersikap demikian, karena keakraban dengan penguasa bisa menyebabkan sang ulama kehilangan keikhlasan, karena ketika mereka mendapatkan imbalan dari apa yang mereka berikan kepada penguasa, maka hal itu bisa menimbulkan perasaan ujub, atau kehilangan wibawa di hadapan penguasa. Ujung-ujungnya, mereka tak mampu lagi melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, jika para penguasa melakukan kesalahan.
Suatu ketika Sa`ad berkata,”Wahai anak-anaku, apakah aku akan mendatangi bangkai yang telah dikelilingi oleh kaum itu? Demi Allah, jika aku mampu aku tidak akan mengikuti mereka dalam hal itu.”
Mereka pun berkata,”Wahai ayah kami, kita akan mati dalam keadaan kurus.” Sa’ad pun menjawab,”Wahai anak-anakku, aku mati dalam keadaan sebagai mukmin yang kurus lebih aku cintai daripada aku mati sebagai munafiq yang gemuk.” (Ihya` Ulumiddin, 1/255).
Sa’ad bin Abi Waqash pun memilih beruzlah di Aqiq hingga wafat pada tahun 55 hijriyah. Lalu dimakamkan di Baqi` di mana ia merupakan bagian dari 10 sahabat yang memperoleh kabar gembira masuk surga, yang wafat paling akhir. (Al Ithaf, 1/391).
Sebaik-baiknya ulama, adalah ulama yang tidak dekat dengan penguasa, dan sebaik-baiknya penguasa, adalah penguasa yang dekat ulama (Penguasa yang selalu datang ke rumah ulama). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
وأخرج الديلمي عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إن الله يحب الأمراء إذا خالطوا العلماء، ويمقت العلماء إذا خالطوا الأمراء، لأن العلماء إذا خالطوا الأمراء رغبوا في الدنيا، والأمراء إذا خالطوا العلماء رغبوا في الآخرة
Artinya: “Dari Umar bin Khattab, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT mencintai penguasa yang berinteraksi dengan ulama. Dan membenci ulama yang mendekati penguasa, karena ulama ketika dekat dengan penguasa yang diinginkan dunia, namun jika penguasa mendekati ulama yang diinginkan akhiratnya.” (HR. Dailami).
Wallahu A’lamu Bissowab