Beranda Kajian Fiqih Islam Hukum Badal Haji

Hukum Badal Haji

72
0
Hukum Badal Haji

Aminsaja.comHukum Badal Haji. Di antara pilar dalam Islam yang diwajibkan kepada umat Islam adalah melaksanakan haji ke Baitullah (Makkah). Ibadah ini merupakan rukun kelima dalam Islam dan dilakukan jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad ﷺ. Beberapa abad sebelum kota Makkah sebagai pusat Islam dengan ditandai lahirnya Baginda Nabi, para nabi sebelumnya sudah melaksanakan haji di kota tersebut.

Mengenai dalil diwajibkannya haji ialah dalam Al-Qur’an Allah ﷻ berfirman:

وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ  الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Artinya: “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam” (QS Ali ‘Imran: 97).

Dalam sebuah hadist, Rasulullah ﷺ bersabda:

أيُّهَا النَّاسُ، قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُم الحَجَّ فَحُجُّوا

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh Allah telah mewajibkan haji atas kamu sekalian, maka kerjakanlah haji” (HR Muslim).

Pertanyaannya bolehkah orang yang belum punya kesempatan untuk haji kemudian dia meninggal. Bolehkah dihajikan oleh keluarganya atau dibadalkan sama orang lain?

Jawabannya. Boleh, bahkan wajib dihajikan oleh keluarganya atau dibadalkan sama orang lain apabila mayit tersebut punya kemampuan untuk haji dimasa hidupnya dan itu adakah punya hutang kepada Allah SWT

Sebagaimana dijelaskan dalam hadist Nabi SAW:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ اقْضُوا اللهَ الَّذِي لَهُ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ .
[رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُابْنِ عَبَّاسٍ., bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi مُحَمَّدٌ ﷺ, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi مُحَمَّدٌ ﷺ bersabda: Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya? Ia menjawab: Ya. Lalu. Nabi مُحَمَّدٌ ﷺ bersabda: Tunaikanlah hutang (janji) kepada الله سُبْحَانَهُ وتَعَالَى, karena sesungguhnya hutang kepada الله سُبْحَانَهُ وتَعَالَى lebih berhak untuk dipenuhi.”

PIRIHAL BADAL HAJI

(فتاوي الرملي,الجزء ٢,صحيفۃ ٩٣)
)سءل عن حاج ترك طواف الاءفاضۃ وجاء الی مصر مثلا ثم صار معضوبا(اي مقطوعا) بشرطه فهل يجوز له ان يستنيب في هذا الطواف او في غيره من ركن او واجب(فاءجاب) باءنه يجوز له ذلك بل يجب عليه لاءن الاءنا بۃ اذا اجزاءت في جميع النسك ففي بعضه اولی, لا يقال النسك عبادۃ بدنيۃ فلا يبنی فيه فعل شخص علی فعل غيره لاءن محله عند موته او قدرته علی تمامه, واما عند العجز عنه فيبني ,فقط قالوا ان الحاج لو وقف بعرفۃ مجنونا وقع حجه نفلا, واستشكل بوقوف المغمی عليه فاءجيب باءن الجنون لا ينافي الوقوع نفلا,بخلاف المغمی عليه,وقالو ان للولي ان يحرم عن المجنون ابتداء ففي الدوام اولی ان يتم حجه ويقع نفلا,بخلاف المغمی عليه, وقالوا ان للولي ان يحرم عن الصبي المميز وغير المميز والمجنون, ويفعل ما عجز كل منهما عنه,ففي هاتين المساءلتين تم النسك النفل بالاءنابۃ, مع انه لا اثم علی من وقع له بترك اتمامه, بخلاف مساءلتنا, لقوله صلی اﷲ عليه وسلم (اذا امرتكم باءمر فاءتوا منه ما استطعتم) ولاءن الميسور لا يسقط بالمعسور, وقالوا ان من عجز عن الرمي وقته وجب عليه ان يستنيب فيه,وعللوه باءن الاءستتابۃ في الحج جاءزۃ,وكذالك في ابعاضه, فنزلوا فعل ماءذونه منزلۃ فعله, فاءذا كان هذا في الواجب الذي يجبر تركه ولو مع القدرۃ عليه بدم, فكيف بركن النسك, وانما امتنع اتمام نسك من مات في اثناءه لخروجه عن الاءهليۃ بالكليۃ, انتهی.

Masalah menghajikan orang lain Pendapat ulama yang mengatakan boleh menghajikan orang lain, dengan syarat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia dan belum melakukan ibadah haji, atau karena sakit berat sehingga tidak memungkinkannya melakukan ibadah haji namun ia kuat secara finansial. Ulama Haanfi mengatakan orang yang sakit atau kondisi badanya tidak memungkinkan melaksanakan ibadah haji namun mempunyai harta atau biaya untuk haji, maka ia wajib membayar orang lain untuk menghajikannya, apalagi bila sakitnya kemungkinan susah disembuhkan, ia wajib meninggalkan wasiat agar dihajikan. Mazhab Maliki mengatakan menghajikan orang yang masih hidup tidak diperbolehkan. Untuk yang telah meninggal sah menghajikannya asalkan ia telah mewasiatkan dengan syarat biaya haji tidak mencapai sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mazhab Syafi’i mengatakan boleh menghajikan orang lain dalam dua kondisi; Pertama : untuk mereka yang tidak mampu melaksanakan ibadah haji karena tua atau sakit sehingga tidak sanggup untuk bisa duduk di atas kendaraan. Orang seperti ini kalau mempunyai harta wajib membiayai haji orang lain, cukup dengan biaya haji meskipun tidak termasuk biaya orang yang ditinggalkan. Kedua orang yang telah meninggal dan belum melaksanakan ibadah haji, Ahli warisnya wajib menghajikannya dengan harta yang ditinggalkan, kalau ada. Ulama syafi’i dan Hanbali melihat bahwa kemampuan melaksanakan ibadah haji ada dua macam, yaitu kemampuan langsung, seperti yang sehat dan mempunyai harta. Namun ada juga kemampuan yang sifatnya tidak langsung, yaitu mereka yang secara fisik tidak mampu, namun secara finansial mampu. Keduanya wajib melaksanakan ibadah haji.

Wallahu A’lamu Bissowab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here