Aminusaja.com – Hukum Memberikan Daging Kurban dalam Bentuk kemasan Kornet. Baru-baru ini ada inovasi pembagian atau memberikan daging kurban dalam bentuk yang sudah masak secara masif, jadi setelah hewan kurban dipotong secara syariat dan profesional, dagingnya dikirim ke banyak chef terbaik untuk dimasak, selanjutnya diberikan ke fakir/miskin dalam keadaan siap santap tanpa harus mengolahnya terlebih dahulu. Ide tersebut dinilai brilian oleh sebagian kalangan, karena lebih memudahkan fakir/miskin dan memberi mereka kesempatan menyantap masakan daging yang lezat dengan cita rasa tinggi. Bagaimana pandangan ulama lintas mazhab mengenai ide tersebut.
Pandangan mazhab Syafi’i disampaikan dalam beberapa referensi, di antaranya oleh Syekh Khatib al-Syarbini sebagai menyampaikan sebagai berikut:
وَيُشْتَرَطُ فِي اللَّحْمِ أَنْ يَكُونَ نِيئًا لِيَتَصَرَّفَ فِيهِ مَنْ يَأْخُذُهُ بِمَا شَاءَ مِنْ بَيْعٍ وَغَيْرِهِ كَمَا فِي الْكَفَّارَاتِ، فَلَا يَكْفِي جَعْلُهُ طَعَامًا وَدُعَاءُ الْفُقَرَاءِ إلَيْهِ؛ لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِي أَكْلِهِ وَلَا تَمْلِيكُهُمْ لَهُ مَطْبُوخًا
Artinya: “Disyaratkan di dalam daging (yang wajib disedekahkan) harus mentah, supaya fakir/miskin yang mengambilnya leluasa memanfaatkan dengan menjual dan semacamnya, seperti ketentuan dalam bab kafarat (denda), maka tidak cukup menjadikannya masakan (matang) dan memanggil orang fakir untuk mengambilnya, sebab hak mereka adalah memiliki daging kurban, bukan hanya memakannya. Demikian pula tidak cukup memberikan hak milik kepada mereka daging masak.”
Dan juga dijelaskan dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, Syekh Muhammad al-Ramli menegaskan sebagai berikut:
وَيَجِبُ دَفْعُ الْقَدْرِ الْوَاجِبِ نِيئًا لَا قَدِيدًا
Artinya: “Wajib memberikan kadar daging yang wajib disedekahkan dalam bentuk mentah, bukan berupa dendeng,” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 8, hal. 142).
Pandangan yang diungkapkan di atas sangat masuk akal, dengan mendistribusikan daging kurban dalam keadaan mentah, karena lebih memberi keleluasaan kepada fakir/miskin dalam mengalokasikan dan memanfaatkannya. Namun yang perlu dicatat, kebolehan tersebut hanya berlaku untuk kurban sunah. Sementara kurban wajib, tidak diperbolehkan di distribusikan dalam bentuk masak secara mutlak, sebab semuanya wajib dimanfaatkan untuk fakir/miskin, tidak diperbolehkan dimakan oleh pihak yang berkurban dan orang kaya, sementara ketentuan menyedekahkan kurban adalah dengan cara mentah sebagaimana keterangan referensi di atas.
Dan juga diperkuat oleh Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi ia menegaskan:
أَمَّا الْوَاجِبَةُ فَلَا يَجُوزُ الْأَكْلُ مِنْهَا سَوَاءٌ الْمُعَيَّنَةُ ابْتِدَاءً أَوْ عَمَّا فِي الذِّمَّةِ (قَوْلُهُ فَلَا يَجُوزُ الْأَكْلُ مِنْهَا) يَنْبَغِي وَلَا إطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ
Artinya: “Adapun kurban wajib, maka tidak boleh bagi mudlahhi (pelaku kurban) memakannya, baik kurban yang wajib karena penentuan hewan atau disebabkan kesanggupan dalam tanggungan. Ucapan Syekh Ibnu Hajar; maka tidak boleh bagi mudlahhi (pelaku kurban) memakannya; demikian pula tidak boleh memberi makan orang-orang kaya” (Syekh Ibnu Qasim al-Ubbadi, Hasyiyah Ibni Qasim ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 9, hal. 363).
Pandangan berbeda disampaikan kalangan Malikiyyah, menurut mereka diperbolehkan menyedekahkan daging kurban dalam keadaan masak. Dalam pandangan mereka, yang lebih baik bagi mudlahhi (pelaku kurban) terkait dengan mendistribusikan kurban adalah memakan sebagian, kemudian sebagian yang lain disedekahkan, baik mentah atau matang. Bila hanya melakukan salah satunya, maka boleh namun meninggalkan keutamaan.
Dan dikuatkan oleh Syekh Ibnu al-Hajib ia mengatakan sebagai berikut:
وَيَأْكُلُ الْمُضَحِّي وَيُطْعِمُ نِيئاً وَمَطْبُوخاً وَيَدَّخِرُ وَيَتَصَدَّقُ، وَلَوْ فَعَلَ أَحَدَهُمَا جَازَ وَإِنْ تَرَكَ الأَفْضَلَ
Artinya: “Dan sebaiknya mudlahhi (pelaku kurban) memakan dan memberi makan dalam bentuk mentah atau masak, ia boleh menyimpan dan menyedekahkannya. Bila hanya melakukan salah satunya, maka boleh meski meninggalkan yang lebih utama,” (Syekh Jamaluddin Utsman bin Umar Ibnu al-Hajib al-Kurdi al-Maliki, Jami’ al-Ummahat, hal. 230).
Pendapat Malikiyyah ini juga dikonfirmasi oleh Syekh Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim al-Kanani dalam karyanya tentang manasik yang mengakomodasi beberapa pendapat ulama lintas mazhab, beliau menegaskan sebagai berikut:
وَإِذَا أَوْجَبْنَا التَّصَدُّقَ بِشَيْءٍ فَلَا يَجُوْزُ كَمَا قَالَ الشَّافِعِيَّةُ أَنْ تَدْعُوَ الْفُقَرَاءَ لِيَأْكُلُوْهُ مَطْبُوْخًا لِأَنَّ حَقَّهُمْ فِي تَمَلُّكِهِ لَا فِيْ أَكْلِهِ، وَإِنْ دَفَعَهُ مَطْبُوْخًا لَمْ يَجُزْ بَلْ يُفَرِّقُهُ نِيْأً. وَأَطْلَقَ الْحَنَفِيَّةُ التَّصَدُّقَ بِهِ مَطْبُوْخًا. وَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهُ يَجُوْزُ التَّصَدُّقُ بِهِ مَطْبُوْخًا.
Artinya: “Bila kita mewajibkan bersedekah dengan sebagian kurban, maka sebagaimana dikatakan ulama Syafi’iyyah tidak boleh mengundang orang-orang fakir untuk memakannya dalam keadaan masak, sebab hak mereka adalah memilikinya, bukan memakannya. Bila menyerahkan kurban dalam bentuk masak, maka tidak boleh, bahkan harus dibagikan mentah. Ulama Hanafiyyah memutlakan tentang menyedekahkan kurban dalam bentuk masak. Menurut mazhab Malikiyyah boleh menyedekahkan kurban dalam bentuk masak,” (Syekh Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Al-Kanani, Hidayah al-Salik Ila al-Madzahib al-Arba’ah fi al-Manasik, hal. 1279).
Dari beberapa referensi di atas bisa dipahami bahwa mendistribusikan daging kurban dalam bentuk masak merupakan masalah yang diperselisihkan di antara ulama. Sebaiknya bila ide pembagian daging kurban dalam bentuk masak dilakukan secara massif atau bahkan menjadi sebuah kebijakan pemerintah daerah, terlebih dahulu berkonsultasi dan bermusyawarah dengan ulama setempat yang berkompeten, misalnya disepakati teknis pelaksanaannya agar sah menurut mazhab tertentu, agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat.
Wallahu A’lamu Bissowab