Beranda Kajian Fiqih Islam Hukum Menggunakan Hak Anak Yatim Untuk Keperluan Non Panti

Hukum Menggunakan Hak Anak Yatim Untuk Keperluan Non Panti

65
0
Hukum Menggunakan Hak Anak Yatim Untuk Keperluan Non Panti

Aminsaja.com Hukum Menggunakan Hak Anak Yatim Untuk Keperluan Non Panti. Ada seorang bekerja di sebuah yayasan Islam yang mempunyai beberapa bidang, baik bidang usaha maupun keagamaan, termasuk salah satunya bidang sosial, yaitu panti asuhan yatim. Dan selama ini banyak sumbangan sedekah yang diamanatkan kepada panti asuhan yatim ini, baik dari pada donatur tetap maupun spontan, berupa barang maupun tunai. Atau juga dari bantuan pemerintah, bahkan dari hasil kotak amal yang dititipkan pada tempat-tempat usaha, seperti supermarket, hotel, restoran, rumah sakit, dan ruang praktik dokter maupun usaha lain yang halal. Jumlahnya tiap bulan cukup lumayan.

Nah! bagaimanakah yayasan tersebut yang mengambil dana panti asuhan yatim ini digunakan ke yang lain selain anak yatim. Dan selain mempunyai panti asuhan yatim, juga mempunyai bidang kegiatan dan usaha lain, apa bolehkah dana panti asuhan yatim ini digunakan untuk keperluan lain non panti?

Jawabannya

Pendistribusian dana yang berasal dari para donatur itu tergantung pada motivasi mereka yang memberikan dana. Apakah mereka memberikan dana untuk keperluan yayasan yang bersifat umum atau untuk keperluan yang bersifat khusus. Hal ini bisa dilihat dari kotak-kotak amal yang diedarkan. Apakah dalam kotak amal itu disebutkan amal jariyah (secara umum) atau disebutkan secara khusus, yaitu untuk keperluan panti asuhan. Jika para penginfaq menitipkan dananya pada kotak amal yang bertuliskan amal jariyah, maka pengurus yayasan boleh mendistribusikan dana itu di luar panti. Tapi jika mereka menginfaqkan dananya di kotak amal untuk panti asuhan (atau mereka menyebutkan tujuan dana dari penyaluran itu pada pengurus yayasan), maka otomatis pengurus yayasan harus menyalurkan dana itu sesuai permintaan. Begitu pula bila pengurus yayasan bermaksud menginvestasikan sejumlah dana para penginfaq, maka hasil atau keuntungan dari investasi itu harus tetap disalurkan sesuai dengan pesanan dari para penginfaq. Dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah Hadis Shahih riwayat Al-Bukhari dan Al-Tirmidzi,

المسلمون على شروطهم الا شرطا حرم حلالا أو أحل حراما

Artinya: “Kaum muslimin itu terikat dengan perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR. Imam Al-Bukhari dan Al-Tirmidzi).

Berangkat dari Hadits ini, maka penerima dana infaq harus memegang amanah untuk menyalurkan dana itu sesuai pesanan para penginfaq. Jadi, antara pemberi dan penerima infaq terikat perjanjian yang tidak boleh dilanggarnya selagi tidak menyalahi syariat.

Mengenai prosentase hak pengasuh yayasan maupun segenap karyawan dibanding hak anak yatim, Nash Al-Qur’an maupun Hadits tidak berbicara jelas soal ini. Karena itu, prosentasenya dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat (Upah Minimum Regional), yang dalam bahasan agama disebut Al-Urf. Tapi pengurus atau karyawan tidak boleh mengambil prosentase upah dengan tujuan memperkaya diri, lebih-lebih dengan cara memakan hak anak yatim secara zalim. Sebagaimana Allah SWT memperingatkan dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (النساء:10)

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (Qs. Al-Nisa:10).

Dalam praktiknya, pengurus atau pengelola yayasan harus membagi gaji karyawan secara proporsional dan mengambil hak anak yatim sesuai kebutuhan. Ini selaras dengan firman Allah,

وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهَدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللهِ حَسِيبًا (النساء:6)

Artinya: “Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS. Al-Nisa’:6).

Perlu diketahui, selama Al-‘urf tidak menyalahi syariat, maka itu bisa dijadikan dalil dalam hukum Islam.

Wallahu A’lamu Bissowab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here