Aminsaja.com – Hukum Menggunakan Harta Anak Yatim Oleh Pengasuhnya. Seorang wali (penanggung jawab) anak yatim telah melakukan transaksi jual beli. Contohnya seperti dengan menjual sebidang tanah pertanian yang merupakan harta warisan anak yatim tersebut. Dan dia menjualnya dengan tujuan untuk memenuhi keperluan anak yatim tersebut dan sisanya digunakan untuk membeli sebidang tanah pertanian yang lain sebagai ganti dari tanah yang terjual tadi. Ketika anak yatim ini telah dewasa, dan tiba masanya untuk memiliki/mengelola sendiri harta warisannya, dia mendapati satu fakta bahwa ternyata harga tanah yang dijual oleh walinya tersebut berharga lebih tinggi dari harga jual waktu itu.
Pertanyaanya adalah, apakah anak yatim yang merupakan pewaris harta tersebut boleh dan berhak membatalkan transaksi yang sebelumnya telah dilakukan oleh walinya, mengingat adanya perbedaan yang sangat mencolok pada harga harta warisan tersebut?
Jawabannya:
Penggunaan atau Pembelanjaan harta anak kecil dan orang-orang selainnya yang tidak mampu melakukan transaksi itu sendiri, seperti orang gila dan lain sebagainya hanya boleh dilakukan dalam kondisi darurat atau demi kebahagiaan orang yang dia urusi (orang yang berada dalam perwaliannya). Maksudnya adalah berdasarkan kemaslahatan anak tersebut.
Pengarang kitab Fath Al-Wahhab, yang beraliran fikih Syafi’i mengatakan, “Dan tidak diperbolehkan bagi wali-yang mengurusi-anak kecil, orang gila dan lain sebagainya untuk membeli budak secara sepihak, meskipun untuk keperluan orang-orang yang diurusnya tersebut, karena dia hanya diperbolehkan membelanjakan harta anak yang diurusnya tersebut berdasarkan kesenangan anak.
Adapun pengarang Al-Wajiz berkata, “Wali tidak boleh membelanjakan harta orang yang berada dalam perwaliannya, kecuali berdasarkan kesepakatan sang anak atau berdasarkan kemaslahatan anak perwaliannya tersebut. Dia juga tidak boleh menggantikan hukum Qishash yang ditetapkan untuknya, tidak boleh memerdekakan budak, tidak boleh melepas budak, baik dengan menggunakan tebusan ataupun tidak, dan tidak boleh melepaskan bagian yang telah disepakati dalam akad syuf’ah kecuali dikarenakan kemaslahatan sang anak.”
Pengarang Asna Al-Mathalib berkata, “Seorang wali tidak boleh menggadaikan barang kecuali berdasarkan persetujuan orang yang berada dalam perwaliannya atau dalam keadaan darurat”. Dan Pengarang Asna Al-Mathalib berkata lagi dalam bab Syuf’ah, “Apabila sang wali telah melaksanakan suatu transaksi berdasarkan kesepakatan sang anak, kemudian ketika telah menjadi dewasa, anak tersebut berkeinginan untuk membatalkan transaksi tersebut, maka hal itu tidak bisa dilakukan. Transaksi (akad) yang dianggap sah adalah akad yang keluar dari anak yang berada dalam perwalian tersebut (baik ia mengucapkannya sendiri atau hanya menyetujui). Transaksi tersebut dianggap sah apabila pada waktu terjadinya akad, sang anak diambil sumpah, yang nantinya bisa dijadikan bukti setelah tiba masanya (setelah sembuh dari gila dan lain sebagainya, atau telah dewasa). Ini berlaku bila sang wali menjalankan transaksi berdasarkan persetujuan atau kerelaan sang anak. Jika transaksi yang terjadi adalah seperti itu, maka sang wali harus mengeluarkan bukti yang jelas akan adanya persetujuan anak tersebut (kecuali bila wali itu adalah bapak atau kakeknya). Akan tetapi, apabila transaksi yang terjadi adalah selain karena persetujuan sang anak, maka tidak diperlukan bukti adanya sumpah dari sang anak, dan kesaksian sang wali tidaklah cukup.”
Dalam bab wakaf juga diterangkan, “Apabila seseorang menyewakan harta wakaf, lalu harga sewanya dinaikkan atau setelah terjadi akad sewa, orang yang hendak menyewa tahu dengan adanya kelebihan harga sewa, maka dia tidak bisa membatalkan akad sewa tersebut, meskipun akad sewanya berlaku untuk beberapa tahun. Hukum itu berlaku karena transaksi tersebut berlaku berdasarkan kerelaan/kelapangan hati pada saat terjadi transaksi. Karena itulah, maka hukum tersebut diserupakan terhadap hukum suatu kejadian apabila seorang wali menjual harta anak yang berada dalam perwaliannya, kemudian ternyata pada hari selanjutnya diketahui bahwa harga itu mengalami kenaikan atau pelonjakan di pasar atau adanya permintaan dari sang anak untuk menambah harga tersebut.”
Berdasarkan hukum tersebut, maka apabila penjualan salah satu aset anak yatim yang dilakukan oleh wali tadi telah sempurna pada waktu transaksi berdasarkan kerelaan sang anak-maksudnya adalah berdasarkan manfaat-atau dikarenakan terdesak, maka tidak ada hak bagi sang anak yatim tersebut untuk membatalkan akad, apabila dia telah beranjak dewasa.
Namun, apabila penggunaan harta anak yatim tadi dilakukan tanpa ada unsur kerelaan/maslahat atau bukan karena terdesak, maka anak yatim tadi boleh dan mempunyai hak untuk membatalkan akad/transaksi apabila dia telah dewasa.
Begitu juga hukum yang terjadi apabila transaksi tersebut tidak diketahui statusnya (apakah berdasarkan kerelaan, terdesak, ataupun tidak), dan kemudian si anak menggugat di hadapan hakim bahwa transaksi yang telah dilakukan walinya tidak berdasarkan persetujuan dia, dan ternyata sang wali juga tidak mampu menunjukkan bukti kuat yang menunjukkan bahwa transaksi itu berdasarkan persetujuan sang anak, maka seketika itu juga hakim langsung membatalkan transaksi yang telah terjadi.
Wallahu A’lamu Bissowab