Hukum shalat fardhu dalam pesawat sah atau tidak? hal ini sering menjadi pertanyaan umat Islam terutama yang sering berpergian menggunakan pesawat atau jamaah Haji dan Umrah.
Shalat fardhu, adalah kewajiban secara Istimrar (terus-menerus) yang tidak boleh ditingalkan baikpun ada di daratan, lautan dan di udara selama akalnya masih sempurna. Namun khusus dalam pelaksanaan shalat fardhu, diwajibkan untuk menetap dalam satu tempat, meski tempat tersebut sejatinya dalam keadaan bergerak.
Maka tetap sah shalatnya orang yang melaksanakan shalat di kereta ketika dilaksanakan dengan rukun yang sempurna dan dalam keadaan menghadap kiblat.
Berbeda dengan shalat sunah yang tetap bisa dilaksanakan dalam keadaan berjalan atau berkendara. Lalu bagaimanakah shalat dalam pesawat?
Pendapat Ulama
Ulama berbeda pandangan shalat fardhu yang dikerjakan didalam pesawat, karena salah satu syarat shalat yang harus dipenuhi diatas adalah, harus menetap ditanah bumi (Istiqrar) atau perantara yang menghubungkan pada tanah bumi.
Berdasarkan ketentuan ini, baiknya bagi orang yang memilih berkendara dengan jalur udara, sebaiknya melakukan shalat sebelum berangkat atau ketika telah sampai di tujuan, meskipun dengan menggunakan cara jamak ta’khir atau taqdim. Ketentuan hukum di atas dijelaskan dalam kitab (Takrirat As-Sadidah) sebagai berikut:
ومثل ذلك الصلاة في الطائرة، فتجوز مع الصحة صلاة النفل، وأما صلاةالفرض إن تعينت عليه أثناء الرحلة وكانت الرحلة طويلة، بأن لم يستطع الصلاة قبل صعودها أو إنطلاقها أوبعد هبوطها في الوقت، ولو تقديما اوتأخيرا، ففي هذا الحالة يجب عليه ان يصلي لحرمة الوقت مع استقبال القبلة وفيها حالتان: 1. إن صلي بإتمام الركوع والسجود: ففي وجوب القضاء عليه خلاف، لعدم استقرار الطائرة في الأرض والمعتمد أن عليه القضاء 2 – وإن صلى بدون إتمام الركوع والسجود أو بدون استقبال القبلة مع الإتمام فيجب عليه القضاء بلا خلاف
“Seperti halnya shalat di kendaraan adalah shalat di pesawat, melaksanakannya diperbolehkan pada shalat sunnah. Sedangkan pada shalat fardhu, jika ia hanya bisa melakukan di tengah perjalanan karena perjalanan jauh dengan ketentuan ia tidak mampu melaksanakan shalat pada waktunya, baik sebelum take off pesawat atau setelah landing pesawat, meskipun dengan cara jama’ takdim ataupun jama’ ta’khir, maka dalam keadaan demikian wajib baginya untuk shalat li hurmatil waqti dengan tetap menghadap pada arah kiblat.”
Shalat Lihurmatil Waqti
Dikutip dari NUonline, Menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu Syarhil Muhadzdzab shalat Lihurmatil Waqti adalah :
- Shalat yang dilakukan ketika tidak menemukan dua media bersuci, yaitu air dan debu, sedangkan waktu shalat sudah masuk, atau bisa juga diartikan sebagai
- Shalat yang dilakukan dalam keadaan tidak sempurna disebabkan tidak memenuhi syarat dan rukun shalat. Shalat ini dilakukan dalam rangka menghormati waktu shalat. (Imam Zakaria Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Majmu Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1998], juz 1, h. 392).
Ketentuan umum yang terdapat dalam shalat li hurmatil waqti adalah seseorang melakukan shalat sebatas kemampuan menjalankan syarat-syarat shalat yang dapat ia lakukan. Seandainya bisa wudhu’ dan melakukan gerakan shalat secara sempurna namun tidak bisa menghadap kiblat, maka wajib baginya melaksanakan wudhu dan gerakan itu. Jika ia tidak dapat melaksanakan wudhu namun bisa tayammum, maka wajib baginya melaksanakan tayammum, begitu juga dalam praktik-praktik yang lain. Sebab tujuan dari shalat li hurmatil waqti sendiri adalah memuliakan waktu shalat dengan sekiranya waktu tersebut tidak sepi dari pelaksanaan shalat.
Shalat Fardhu Dalam Pesawat Yang Wajib Di Ulangi
- Jika dia dapat shalat dengan menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujud, maka dalam hal wajib tidaknya mengulangi shalat terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan pendapat ini dilandasi tidak tetapnya pesawat pada tanah bumi. Pendapat yang kuat berpandangan, ia wajib mengulangi shalatnya.
- Jika dia tidak dapat menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujudnya atau ia shalat tidak menghadap arah kiblat maka ia wajib mengulangi shalatnya tanpa adanya perbedaan di antara ulama.” (Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim, Taqrirat as-Sadidah, hal. 201).
Kesimpulannya, shalat dalam pesawat tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam shalat, (tidak menggugurkan kewajiban shalat), hanya sebatas li hurmatil waqti yang wajib diulang kembali pelaksanaannya yang sempurna ketika sampai tujuan.
Wallahu A’lam bissowab