Beranda Kajian Fiqih Islam Hukum Shalat Fardhu Di dalam Pesawat?

Hukum Shalat Fardhu Di dalam Pesawat?

75
0
Hukum Shalat Fardhu Di dalam Pesawat

Aminsaja.com Hukum Shalat Fardhu Di dalam Pesawat?. Salah satu syarat dalam menjalankan shalat adalah dilakukan dalam keadaan menetap di tanah bumi (istiqrar), atau melalui perantara sesuatu yang menempel pada tanah bumi, seperti bangunan, perahu, dan lain-lain. Oleh sebab itu, jika seandainya ada seseorang yang memiliki kemampuan dapat mengangkat dirinya untuk tidak menempel pada tanah (terbang) lalu saat dalam keadaan demikian ia melakukan shalat, maka shalat yang ia lakukan dianggap tidak sah sehingga ia wajib mengulangi shalatnya kembali.

Namun khusus dalam pelaksanaan shalat fardhu, diwajibkan untuk menetap dalam satu tempat, meski tempat tersebut sejatinya dalam keadaan bergerak. Maka tetap sah shalatnya orang yang melaksanakan shalat di kereta ketika dilaksanakan dengan rukun yang sempurna dan dalam keadaan menghadap kiblat.

Berbeda dengan shalat sunah yang tetap bisa dilaksanakan dalam keadaan berjalan atau berkendara. Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist Nabi SAW:

عَنْ جَابِرٍ كَانَ رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ

Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)

Juga Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifayatul Akhyar menuturkan:

يجوز للْمُسَافِر التنقل رَاكِبًا وماشياً إِلَى جِهَة مقْصده فِي السّفر الطَّوِيل والقصير على الْمَذْهَب

Artinya: “Diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i).” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr [Damaskus: Darul Basyair], 2001, juz I, hal. 125)

Lalu, bagaimana dengan shalat di pesawat yang sering dilakukan oleh para jemaah umrah atau haji?

Para ulama berpandangan bahwa shalat di pesawat tidak memenuhi salah satu syarat yang wajib dipenuhi di atas, yaitu menetap di tanah bumi (istiqrar) atau perantara yang menghubungkan pada tanah bumi. Berdasarkan ketentuan ini, baiknya bagi orang yang memilih berkendara dengan jalur udara, sebaiknya melakukan shalat sebelum berangkat atau ketika telah sampai di tujuan, meskipun dengan menggunakan cara jama’ ta’khir. Namun jika seandainya jarak tempuh sangat jauh hingga memakan waktu yang cukup panjang, seperti awal mula take off pesawat pada waktu sebelum masuknya waktu shalat, dan sampai di tempat tujuan ketika waktu shalat telah habis, maka dalam hal ini ia tetap wajib melaksanakan shalat di pesawat dengan ketentuan li hurmatil waqti (untuk memuliakan waktu shalat) dan wajib untuk di-qadha’ kembali shalat tersebut ketika telah sampai di tempat tujuan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Taqrirat as-Sadidah:

ومثل ذلك الصلاة في الطائرة، فتجوز مع الصحة صلاة النفل، وأما صلاةالفرض إن تعينت عليه أثناء الرحلة وكانت الرحلة طويلة، بأن لم يستطع الصلاة قبل صعودها أو إنطلاقها أوبعد هبوطها في الوقت، ولو تقديما اوتأخيرا، ففي هذا الحالة يجب عليه ان يصلي لحرمة الوقت مع استقبال القبلة وفيها حالتان: 1. إن صلي بإتمام الركوع والسجود: ففي وجوب القضاء عليه خلاف، لعدم استقرار الطائرة في الأرض والمعتمد أن عليه القضاء 2 – وإن صلى بدون إتمام الركوع والسجود أو بدون استقبال القبلة مع الإتمام فيجب عليه القضاء بلا خلاف

“Seperti halnya shalat di kendaraan adalah shalat di pesawat, melaksanakannya diperbolehkan pada shalat sunnah. Sedangkan pada shalat fardhu, jika ia hanya bisa melakukan di tengah perjalanan karena perjalanan jauh dengan ketentuan ia tidak mampu melaksanakan shalat pada waktunya, baik sebelum take off pesawat atau setelah leanding pesawat, meskipun dengan cara jama’ takdim ataupun jama’ ta’khir, maka dalam keadaan demikian wajib baginya untuk shalat li hurmatil waqti dengan tetap menghadap pada arah kiblat.” Sedangkan status shalatnya diperinci dalam dua keadaan.

Pertama: Jika dia dapat shalat dengan menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujud, maka dalam hal wajib tidak mengulangi shalat tersebut, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Perbedaan pendapat ini dilandasi tidak tetapnya pesawat pada tanah bumi. Pendapat yang kuat berpandangan, ia wajib mengulangi shalatnya.

Kedua: jika dia tidak dapat menyempurnakan gerakan ruku’ dan sujudnya atau ia shalat tidak menghadap arah kiblat maka ia wajib mengulangi shalatnya tanpa adanya perbedaan di antara ulama.” (Syekh Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim, Taqrirat as-Sadidah, hal. 201).

Imam Nawawi juga menjelaskan dalam kitab Majmu’:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ

Artinya: “Para sahabat kami berpendapat, bila telah datang waktu shalat fardlu sementara mereka dalam perjalanan, dan bila turun untuk shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat khawatir akan tertinggal dari rombongannya atau mengkhawatirkan dirinya sendiri atau hartanya, maka tidak diperbolehkan baginya meninggalkan shalat dan mengeluarkan dari waktunya. Ia mesti shalat di atas kendaraannya untuk menghormati waktu shalat dan wajib mengulanginya (bila telah memungkinkan), karena hal itu merupakan uzur yang jarang terjadi.”  (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab [Jedah: Maktabah Al-Irsyad], tt., juz III, hal. 222)

Ketentuan umum yang terdapat dalam shalat li hurmatil waqti adalah seseorang melakukan shalat sebatas kemampuan menjalankan syarat-syarat shalat yang dapat ia lakukan. Seandainya bisa wudhu’ dan melakukan gerakan shalat secara sempurna namun tidak bisa menghadap kiblat, maka wajib baginya melaksanakan wudhu dan gerakan itu. Jika ia tidak dapat melaksanakan wudhu namun bisa tayammum, maka wajib baginya melaksanakan tayammum, begitu juga dalam praktik-praktik yang lain. Sebab tujuan dari shalat li hurmatil waqti sendiri adalah memuliakan waktu shalat dengan sekiranya waktu tersebut tidak sepi dari pelaksanaan shalat. Jadi kesimpulannya, shalat di pesawat tidak dapat mencukupi untuk menggugurkan kewajiban shalat, sebab shalat yang dilakukan hanya sebatas shalat li hurmatil waqti yang wajib untuk diulang kembali dengan pelaksanaan yang sempurna.

Wallahu A’lamu Bissowab




LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here