Beranda Keutamaan Kapan Jatuhnya Malam Lailatul Qadar

Kapan Jatuhnya Malam Lailatul Qadar

93
0
Kapan Jatuhnya Malam Lailatul Qadar

Aminsaja.comKapan Jatuhnya Malam Lailatul Qadar. Lailatul Qadr terjadi pada satu malam saja dari bulan Ramadan pada setiap tahunnya, akan tetapi tidak dapat dipastikan kapan terjadinya. Dan hal ini ada hikmahnya, sesuai dengan hadits yang telah lalu dalam Shahih al-Bukhari (2023) dari Ubadah bin ash-Shamit RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “dan mudah-mudahan hal itu lebih baik untuk kalia”. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’anil Azhim (8/451) berkata, “Maksudnya adalah ketidaktahuan kalian terhadap kapan terjadinya Lailatul Qadr itu lebih baik bagi kalian, karena hal itu membuat orang-orang yang betul-betul ingin mendapatkannya akan berusaha dengan bersungguh-sungguh beribadah di setiap kemungkinan waktu terjadinya Lailatul Qadr tersebut, maka dia akan lebih banyak melakukan ibadah-ibadah. Lain halnya jika waktu Lailatul Qadr sudah diketahui, kesungguhan pun akan berkurang dan dia akan beribadah pada waktu malam itu saja”. Sehingga banyak sekali hadits-hadits dan atsar-atsar yang menerangkan waktu-waktu malam yang mungkin terjadi padanya Lailatul Qadr. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani RA (852 H) dalam kitabnya Fat-hul Bari (4/262-266) membawakan lebih dari empat puluh lima pendapat ulama yang berkaitan dengan keterangan kemungkinan waktu-waktu terjadinya Lailatul Qadr. Di antara waktu-waktu yang di terangkan hadits-hadits dan atsar-atsar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pada malam pertama di bulan Ramadan

Imam Ibnu Katsir RA (774 H) berkata, “Ini diceritakan dari Abu Razin al-‘Uqaili RA seorang sahabat”[Tafsir al-Qur’anil Azhim (8/447). Dan kami tidak mendapatkan atsar yang menerangkan hal ini, kecuali apa yang telah dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fat-hul Bari (4/263) dari Ibnu Abi Ashim, dari Anas, beliau berkata, “Lailatul Qadar adalah malam pertama di bulan Ramadan”.

2. Pada malam ke tujuh belas di bulan Ramadan

Imam Ibnu Katsir RA berkata, “Dalam hal ini Abu Dawud telah meriwayatkan hadits marfu’ [Hadits marfu’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, ataupun sifat beliau] dari Ibnu Mas’ud, juga diriwayatkan dengan mauquf[24. Hadits mauquf adalah hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, atau pernyataan] dari Zaid bin Arqam, dan Utsman bin Abi Al ‘Ash [Sunan Abi Dawud (1384). Dan Imam al-Albani rahimahullah (1420 H) mendha’ifkan hadits ini dalam kitabnya Dha’if Abi Dawud al-Umm (2/65-66)]. Dan ini adalah salah satu perkataan Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, juga diceritakan dari Al-Hasan Al-Bashri. Mereka semua beralasan karena (malam ke tujuh belas Ramadan adalah malam terjadinya perang Badr, yang terjadi pada malam Jumat, malam yang ke tujuh belas dari bulan Ramadan dan di pagi harinya (terjadilah) perang Badr, itulah hari yang Allah katakan dalam firman-Nya: ” Di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan…” (QS. al-Anfaal: 41) [Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/447)].

3. Pada malam ke sembilan belas di bulan Ramadan

Pendapat ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit RA [27. Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/447) dan Fat-hul Bari (4/263)].

4. Pada malam ke dua puluh satu di bulan Ramadan

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri RA beliau berkata:

اعتكَف رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عشرَ الأُوَلِ من رمضانَ، واعتكفْنا معَه، فأتاه جبريلُ فقال : إن الذي تطلُبُ أمامَك، فاعتكَف العشرَ الأوسَطَ فاعتكَفْنا معَه، فأتاه جبريلُ فقال : إن الذي تطلُبُ أمامَك، قام النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ؟طيبًا، صبيحةَ عِشرينَ من رمضانَ، فقال : مَن كان اعتكَف معَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فليَرجِعْ، فإني أُريتُ ليلةَ القدْرِ وإني نُسِّيتُها وإنها في العشرِ الأواخِرِ، وفي وِترٍ، وإني رأيتُ كأني أسجدُ في طينٍ وماءٍ . وكان سقفُ المسجدِ جريدَ النخلِ، وما نرى في السماءِ شيئًا، فجاءتْ قزَعةٌ فأُمطِرْنا، فصلَّى بنا النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم حتى رأيتُ أثرَ الطينِ والماءِ . على جبهةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وأرنبتِه، تصديقَ رؤياه

Artinya: “Rasulullah SAW melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadan, dan kami pun melakukan i’tikaf bersamanya. Lalu Jibril datang dan berkata, “Sesungguhnya apa yang engkau minta (cari) ada di depanmu”, lalu Rasulullah SAW berkhutbah pada pagi hari yang ke dua puluh di bulan Ramadan dan bersabda, “Barangsiapa yang i’tikaf bersama Nabi, maka kembalilah untuk melakukan i’tikaf! Karena sesungguhnya aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar, dan aku sudah lupa. Lailatul Qadar akan terjadi pada sepuluh hari terakhir pada malam ganjilnya, dan aku sudah bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air”. Dan saat itu atap masjid terbuat dari pelepah daun pohon kurma, dan kami tidak melihat sesuatupun di langit, lalu tiba-tiba muncul awan dan kami pun dituruni hujan. Kemudian Rasulullah SAW salat bersama kami sampai-sampai aku melihat bekas tanah dan air yang melekat di dahi dan ujung hidung beliau sebagai bukti benarnya mimpi beliau[28. HR al-Bukhari (813), Muslim (1167), dan lain-lain]. Asy-Syafi’i RA berkata, “Hadits ini adalah riwayat paling shahih” [Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/447)].

5. Pada malam ke dua puluh tiga di bulan Ramadan

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abdullah bin Unais RA beliau berkata: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:

أريتُ ليلةَ القدرِ ثم أُنسيتُها . وأراني صُبحَها أسجدُ في ماءٍ وطينٍ . قال : فمُطِرْنا ليلةَ ثلاثٍ وعشرين فصلى بنا رسولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم . فانصرفَ وإن أثرَ الماءِ والطينِ على جبهتِه وأنفِه . قال : وكان عبدُاللهِ بنِ أنيسٍ يقولُ : ثلاثَ وعشرين

Artinya: “Aku telah diperlihatkan Lailatul Qadar kemudian aku dibuat lupa, dan aku bermimpi bahwa aku bersujud di atas tanah dan air”. Maka kami dituruni hujan pada malam yang ke dua puluh tiga. Dan Rasulullah SAW salat bersama kami kemudian beliau pergi sedangkan bekas air dan tanah masih melekat pada dahi dan hidungnya. Dan Abdullah bin Unais RA berkata, “Dua puluh tiga”. [30. HR Muslim (1167) dan lain-lain]

6. Pada malam ke dua puluh empat di bulan Ramadan

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri RA beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:

ليلة القدر ليلة أربع وعشرين

Artinya: “Lailatul Qadar malam yang ke dua puluh empat”. [31. HR ath-Thayalisi di dalam Musnad-nya (1/288) dan Ahmad dalam Musnad-nya pula (39/323). Imam Ibnu Katsir RA di dalam Tafsir al-Quranil Azhim (8/447) mengomentari hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, “sanadnya (terdiri dari) para perawi tsiqat (kuat)”. Namun setelah beliau membawakan pula hadits serupa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, beliau pun berkata, “Pada sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah, dan dia dha’if (lemah). Hadits ini tidak sesuai dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari ‘Amr bin Al Harits, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abul Khair, dari Abu Abdillah ash-Shunaabihi, ia berkata, ‘Bilal seorang muaddzin Rasulullah telah memberitahu kepadaku bahwa Lailatul Qadar dimulai malam ke tujuh dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Maka hadits yang mauquf ini lebih sah. Dan hadits ini pun dinyatakan dha’if (lemah) sanadnya oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad.

Pendapat ini telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir, al-Hasan, Qatadah, Abdullah bin Wahb. Mereka mengatakan bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam yang ke dua puluh empat [Lihat Tafsir al-Quranil Azhim (8/448). Lihat juga tafsir beliau pada surat al-Baqarah ayat 185 (1/505)].

7. Pada malam ke dua puluh lima di bulan Ramadhan.

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata: Sesungguhnya Nabi SAW bersabda sebagai berikut:

التمِسوها في العشرِ الأواخرِ من رمضانَ، ليلةَ القدرِ، في تاسِعةٍ تَبقى، في سابِعةٍ تَبقى، في خامِسةٍ تَبقى

Artinya: “Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadan, pada malam yang ke sembilan tersisa, malam yang ke tujuh tersisa, malam yang ke lima tersisa”[33. HR al-Bukhari (2021), Abu Dawud (1381), dan lain-lain].

8. Pada malam ke dua puluh tujuh di bulan Ramadan

Sebagaimana diterangkan dalam hadits yang di keluarkan oleh Imam Muslim dari Ubay bin Ka’ab RA Dari ‘Abdah dan Ashim bin Abi An Nujud, mereka mendengar Zirr bin Hubaisy berkata sebagai berikut:

سألتُ أُبيَّ بنَ كعبٍ رضيَ اللهُ عنه . فقلتُ : إنَّ أخاك ابنَ مسعوٍد يقول : من يَقُمِ الحولَ يُصِبْ ليلةَ القدرِ . فقال : رحمه اللهُ ! أراد أن لا يتَّكِلَ الناسُ . أما إنه قد علم أنها في رمضانَ . وأنها في العشرِ الأواخرِ . وأنها ليلةُ سبعٍ وعشرين . ثم حلف لا يَستثنى . أنها ليلةُ سبعٍ وعشرين . فقلتُ : بأيِّ شيءٍ تقول ذلك ؟ يا أبا المُنذرِ ! قال : بالعلامةِ ، أو بالآيةِ التي أخبرنا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أنها تطلع يومئذٍ ، لا شعاعَ لها

Artinya: “Aku pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, aku berkata, sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata, barangsiapa mendirikan shalat malam selama setahun pasti akan mendapatkan Lailatul Qadr”, Ubay bin Ka’ab berkata, “Semoga Allah merahmatinya, beliau bermaksud agar orang-orang tidak bersandar (pada malam tertentu untuk mendapatkan Lailatul Qadr), walaupun beliau sudah tahu bahwa malam Lailatul Qadr itu di bulan Ramadhan, dan terdapat pada sepuluh malam terakhir, dan pada malam yang ke dua puluh tujuh”. Kemudian Ubay bin Ka’ab bersumpah tanpa istitsnaa’ Bersumpah tanpa istitsnaa’ adalah bersumpah dengan tidak menyebutkan kata “Insya Allah” setelahnya, dan yakin bahwa malam itu adalah malam yang ke dua puluh tujuh. Aku (Zirr) berkata, “Dengan apa (sehingga) engkau berkata demikian wahai Abul Mundzir? Abul Mundzir adalah kun-yah Ubay bin Ka’ab.Taqribut Tahdzib, halaman 120]” Beliau berkata, “Dengan tanda yang pernah Rasulullah kabarkan kepada kami, yaitu matahari terbit pada pagi harinya tanpa sinar yang terik.” [36. HR Muslim (762), Abu Dawud (1378), at-Tirmidzi (793 dan 3351), dan lain-lain].

Demikian pula ditunjukkan oleh hadits Abdullah bin Umar RA sebagai berikut:

أن رجالًا من أصحابِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أُرُوا ليلةَ القدرِ في المنامِ في السبعِ الأواخرِ، فقال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( أَرَى رؤياكم قد تواطَأَتْ في السبعِ الأواخرِ، فمَن كان مُتَحَرِّيها فلْيَتَحَرَّها في السبعِ الأواخرِ )

Dari Ibnu Umar, bahwa beberapa orang sahabat Nabi SAW diperlihatkan (bermimpi) Lailatul Qadar pada tujuh malam terakhir, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Aku kira mimpi kalian telah bersesuaian pada tujuh malam terakhir, maka barang siapa yang ingin mendapatkannya, carilah pada tujuh malam terakhir tersebut”[37. HR Muslim (1165), dan lain-lain].

Demikian pula hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan RA bahwa Nabi SAW bersabda tentang Lailatul Qadar sebagai berikut:

ليلة القدر ليلة سبع وعشرين

Artinya: “Lailatul Qadar pada malam ke dua puluh tujuh“. [38. HR Abu Dawud (1386) dan lain-lain].

Imam Ibnu Katsir RA berkata, “Dan pendapat yang menyatakan bahwa Lailatul Qadar adalah malam ke dua puluh tujuh merupakan pendapat sebagian ulama salaf, dan madzhab Ahmad bin Hanbal, dan riwayat dari Abi Hanifah. Juga telah diceritakan dari sebagian salaf, mereka berusaha mencocokkan malam Lailatul Qadar dengan karena kata ini adalah kata yang ke dua puluh tujuh dari malam yang ke dua puluh tujuh dengan firman Allah: (َهي), surat Al-Qadr. [Tafsir Al Quran Al Azhim (8/448). Dan dikatakan pula bahwa kata (َليلة القدر) ada sembilan huruf, dan kata ini terdapat dalam surat Al-Qadr sebanyak tiga kali pengulangan, maka jumlah keseluruhan hurufnya ada dua puluh tujuh. Dan itulah malam Lailatul Qadar. [Adhwa’ al-Bayan (9/37)].

9. Pada malam ke dua puluh sembilan di bulan Ramadhan.

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Abu Hurairah RA berkata sebagai berikut:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قالَ في ليلةِ القدرِ إنَّها ليلةٌ سابعةٌ أو تاسعةٌ وعشرينَ إنَّ الملائكةَ تلكَ اللَّيلةَ في الأرضِ أكثرُ من عددِ الحصى

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda tentang Lailatul Qadr,Sesungguhnya malam itu malam yang ke dua puluh tujuh atau ke dua puluh sembilan, sesungguhnya malaikat pada malam itu lebih banyak dari jumlah butiran kerikil”[40. HR Ahmad (16/428 nomor 10734), dan lain-lain].

Juga dalam hadits Ubadah bin Shamit RA beliau bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Lailatul Qadar, beliau bersabda sebagai berikut:

في رمضانَ فالتمِسوها في العشرِ الأواخرِ فإنَّها في وِترٍ في إحدَى وعشرين أو ثلاثٍ وعشرين أو خمسٍ وعشرين أو سبعٍ وعشرين أو تسعٍ وعشرين أو في آخرِ ليلةٍ فمن قامها ابتغاءَها إيمانًا واحتسابًا ثمَّ وُفِّقتْ له غُفِر له ما تقدَّم من ذنبِه وما تأخَّر

Artinya: “Di bulan Ramadan, maka carilah ia pada sepuluh malam terakhir, karena malam itu terjadi pada malam-malam ganjil, pada malam ke dua puluh satu, atau dua puluh tiga, atau dua puluh lima, atau dua puluh tujuh, atau dua puluh sembilan, atau pada akhir malam bulan Ramadan. Maka barangsiapa menghidupkan malam itu untuk mendapatkannya dengan penuh pengharapan kepada Allah kemudian dia mendapatkannya, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang“[41. HR Ahmad (37/386-387, 406). Hadits ini dinyatakan hasan oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad].

10. Pada malam terakhir di bulan Ramadan

Sebagaimana diterangkan dalam hadits Ubadah bin Ash Shamit di atas, dan hadits Abu Bakrah RA beliau berkata sebagai berikut:

ما أنا بمُلتَمِسِها لشيءٍ سمعتُهُ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وعلَى آلِه وسلَّمَ إلَّا في العَشرِ الأواخرِ فإنِّي سمعتُهُ يقولُ التَمِسوها في تِسعٍ يبقَينَ أو سَبعٍ يبقَينَ أو خَمسٍ يبقَينَ أو ثلاثٍ أو آخرِ ليلةٍ . قال : وَكانَ أبو بَكرةَ يصلِّي في العشرينَ مِن رمضانَ كصلاتِهِ في سائرِ السَّنةِ فإذا دخلَ العشرُ اجتَهَدَ

Artinya: “Tidaklah aku mencari malam Lailatul Qadar dengan suatu apapun yang aku dengarkan dari Rasulullah melainkan pada sepuluh malam terakhir, karena sesungguhnya aku mendengarkan beliau berkata, “Carilah malam itu pada sembilan malam yang tersisa (di bulan Ramadan), atau tujuh malam yang tersisa, atau lima malam yang tersisa, atau tiga malam yang tersisa, atau pada malam terakhir”. Dan Abu Bakrah salat pada dua puluh hari pertama di bulan Ramadan seperti salat-salat beliau pada waktu-waktu lain dalam setahun, tapi apabila masuk pada sepuluh malam terakhir, beliau bersungguh-sungguh[HR at-Tirmidzi (794) dan lain-lain].

Dan demikian hadits yang serupa telah diriwayatkan dari Mu’awiyah RA [HR Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/330 nomor 2189).

Inilah waktu-waktu yang diterangkan dari berbagai macam sumber dari kitab-kitab tafsir maupun hadits. Dan jika kita perhatikan kembali, banyak hadits-hadits shahih yang menerangkan bahwa kemungkinan terbesar terjadinya Lailatul Qadar adalah di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, dan terutama pada malam yang ke dua puluh satu dan dua puluh tujuh.

Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi RA berkata, “Dan tidak pernah ada ketentuan atau pembatasan yang memastikan kapan terjadinya malam Lailatul Qadar pada bulan Ramadan. Dan ulama telah banyak membawakan pendapat dan keterangan yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya malam Lailatul Qadar. Di antara perkataan (para ulama) tersebut adalah ada yang sangat umum, bahwa Lailatul Qadar mungkin terjadi pada setahun penuh. Akan tetapi ini tidak mengandung hal yang baru. Dan perkataan ini dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud. Namun, sebetulnya maksud beliau agar manusia bersungguh-sungguh dalam mencarinya. Ada pula yang mengatakan bahwa malam itu mungkin terjadi pada bulan Ramadan seluruhnya. Dan mereka berdalil dengan keumuman keterangan Al-Qur’an. Ada pula yang berkata bahwa malam itu mungkin terjadi pada sepuluh malam terakhir, dan ini lebih khusus dari pendapat sebelumnya. Dan ada yang berpendapat bahwa malam itu terjadi pada malam-malam ganjil dari sepuluh malam terakhir tersebut. Maka, dari sini ada yang berpendapat pada malam ke dua puluh satu, ke dua puluh tiga, ke dua puluh lima, ke dua puluh tujuh, ke dua puluh sembilan, dan malam terakhir; sesuai dengan masing-masing keterangan yang menunjukkan terjadinya Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil tersebut. Akan tetapi, pendapat yang paling masyhur dan shahih dari keterangan tersebut adalah pada malam ke dua puluh tujuh dan dua puluh satu. Dengan demikian, apabila seluruh keterangan atau dalil yang menerangkan bahwa Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil tersebut semuanya shahih, maka besar kemungkinan malam Lailatul Qadar terjadi pada malam-malam ganjil tersebut. Dan bukan berarti malam Lailatul Qadar tersebut tidak berpindah-pindah, akan tetapi ada kemungkinan dalam tahun ini terjadi pada malam ke dua puluh satu, dan pada tahun lain yang berikutnya terjadi pada malam ke dua puluh lima atau dua puluh tujuh, dan pada tahun yang lainnya lagi terjadi pada malam ke dua puluh tiga atau dua puluh sembilan, dan begitulah seterusnya. (Adhwa’ al-Bayan 9/35-36).

Wallahu A’lamu Bissowab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here