Beranda Doa-Doa Praktis Keistimewaan Salat Tarawih di Bulan Ramadan

Keistimewaan Salat Tarawih di Bulan Ramadan

200
0
Keistimewaan Salat Tarawih di Bulan Ramadan

Aminsaja.com Keistimewaan Salat Tarawih di Bulan Ramadan. Memahami keutamaan salat tarawih di bulan Ramadan adalah pertimbangan utama untuk melakukannya. Salat tarawih merupakan ibadah sunah yang hanya bisa dilaksanakan di bulan Ramadan saja. Dan hukum salat tarawih adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan).

Ada banyak sekali keistimewaan salat tarawih di bulan Ramadan yang mendatangkan berkah bagi kehidupan. Umat muslim yang melaksanakannya akan mendapat pengampunan dosa, dipermudah rezekinya, mendapatkan pahala 27 derajat, menjadi penyempurna kekurangan ibadah wajib (salat lima waktu), dianggap seperti salat semalam penuh, menyehatkan mental, dan tubuh.

Dari sekian banyak keutamaan dan keistimewaan salat tarawih di bulan Ramadan, tak ada niat khusus yang harus dilafalkan. Jumhur ulama (Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah) mengatakan tidak ada lafal khusus untuk niat salat tarawih. Niat berasal langsung dari hati, tanpa mengatakan pun sudah memiliki makna sesuai dengan apa yang akan dilakukannya.

Hukum Salat Tarawih Di rumah Sendirian

Salat tarawih bisa dilakukan sendirian dan boleh berjamaah, baik pun dilakukan di rumah, di masjid atau dimasholla. Salat tarawih di rumah jadi pilihan, jika tidak merasa tenang saat melakukan salat tarawih di masjid atau musholla. Contoh, saat pelaksanaan salat tarawih imamnya terlalu lama atau cepat hingga mengakibatkan ma’mum tidak fokus saat beribadah. Dan melaksanaan salat tarawih di rumah hukumnya sah-sah saja, walaupun sangat mampu pergi ke masjid. Di saat zaman Nabi Muhammad SAW setelah hari ketiga Ramadan melakukan salat tarawih di rumahnya. Beliau khawatir umatnya menduga sesungguhnya salat tarawih hukumnya wajib. Salat tarawih di rumah telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya sebagai berikut:

مَا زَالَ بِكُمُ الَّذِى رَأَيْتُ مِنْ صَنِيعِكُمْ ، حَتَّى خَشِيتُ أَنْ يُكْتَبَ عَلَيْكُمْ ، وَلَوْ كُتِبَ عَلَيْكُمْ مَا قُمْتُمْ بِهِ فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ صَلاَةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ ، إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ

Artinya: “Kalian masih melakukan apa yang aku lihat dari sikap kalian. Aku khawatir salat ini akan diwajibkan bagi kalian. Kalau salat tarawih diwajibkan, kalian tidak bisa melaksanakan. Hendaknya kalian salat di rumah-rumah kalian karena sesungguhnya salat seseorang yang terbaik adalah di rumahnya kecuali salat fardhu.” (HR Bukhari). Nabi SAW sengaja tidak melanjutkan berjamaah salat tarawih di masjid di hari-hari berikutnya karena khawatir ada anggapan bahwa salat tarawih hukumnya wajib.

Salat sunah tarawih ini, kemudian berlanjut sampai masanya khalifah Abu Bakr al-Shidiq bahkan hingga pada masa khalifah Umar bin al-Khatab, dan atas idenya, para sahabat sepakat, salat tarawih dilakukan di masjid secara berjamah dengan rutin hingga akhir Ramadan. Ulama menjelaskan bahwa telah terjadi perbedaan konteks di zaman Nabi SAW & Abu Bakr dengan masanya Umar sehingga terjadi praktik yang berbeda dalam pelaksanaan salat tarawih. Bila di masa Nabi SAW masih sangat rentan diyakini wajib, maka alasan tersebut hilang saat masa kepemimpinan Sayyidina Umar, sehingga dilakukan salat jemaah tarawih secara rutin di masjid. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin al-Hishni sebagai berikut:

وَفعل عمر ذَلِك لأمنه الافتراض

Artinya: “Dan Sayyidina Umar melakukan hal demikian (mengumpulkan manusia untuk salat jemaah tarawih) karena terjamin dari anggapan kewajiban tarawih” (Syekh Taqiyuddin al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, hal. 89).

Hukum Salat Tarawih

Salah satu salat yang utama di malam bulan Ramadan adalah salat tarawih. Yaitu ritual yang dilakukan setelah salat Isya ini memiliki keutamaan dan pahala yang besar. Syekh Taqiyuddin al-Hishni dalam karyanya Kifayatul Akhyar menegaskan bahwa kesunahan salat tarawih merupakan kesepakatan seluruh ulama dari berbagai mazhab, dan tidak dianggap pendapat-pendapat yang menyelisihi konsensus tersebut. Syekh Taqiyuddin Al-Hishni menegaskan sebagai berikut:

 وَأما صَلَاة التَّرَاوِيح فَلَا شكّ فِي سنيتها وانعقد الْإِجْمَاع على ذَلِك قَالَه غير وَاحِد وَلَا عِبْرَة بشواذ الْأَقْوَال 

Artinya: “Adapun salat tarawih, tidak diragukan lagi di dalam kesunahannya. Kesepakatan ulama telah menjadi kukuh di dalam kesunahannya, yang demikian dikatakan tidak hanya satu orang. Dan tidak dianggap pendapat-pendapat yang menyimpang”. (Syekh Taqiyuddin Al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, hal. 89).

Keutamaan Salat Tarawih

Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan tentang keutamaan tarawih. Di antaranya hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Muslim dan lainnya sebagai berikut:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya: “Barangsiapa beribadah (salat tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau”. (HR al-Bukhari, Muslim, dan lainnya). Ulama sepakat bahwa redaksi “qama ramadana” di dalam hadits tersebut diarahkan pada salat tarawih. Syekh Khatib al-Syarbini menegaskan sebagai berikut:

 وَقَدْ اتَّفَقُوا عَلَى سُنِّيَّتِهَا وَعَلَى أَنَّهَا الْمُرَادُ مِنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ» رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَقَوْلُهُ: إيمَانًا: أَيْ تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حَقٌّ مُعْتَقِدًا فَضِيلَتَهُ، وَاحْتِسَابًا: أَيْ إخْلَاصًا، 

Artinya: “Ulama sepakat atas kesunahan salat tarawih, dan sesungguhnya salat tarawih adalah salat yang dikehendaki dalam hadits Nabi SAW “Barangsiapa beribadah (salat tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau. Hadits diriwayatkan al-Bukhari. Adapun sabda Nabi SAW “imanan”, maksudnya adalah membenarkan bahwa yang demikian itu haq seraya meyakini keutamaannya. Sabda Nabi SAW “wahtisaban”, maksudnya ikhlas”. (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 459).

Ulama berbeda pendapat mengenai dosa yang diampuni dalam hadits tersebut, sebagaimana mereka juga ikhtilaf  (berbeda) di dalam hadits-hadits sejenis. Menurut al-Imam al-Haramain, yang dihapus hanya dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar hanya bisa diampuni dengan cara bertobat. Sementara menurut Imam Ibnu al-Mundzir, redaksi “ma” (dosa) dalam hadits tersebut termasuk kategori lafadh ‘am (kata umum) yang berarti mencakup segala dosa, baik kecil atau besar. Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli menegaskan sebagai berikut:

 قَالَ الْإِمَامُ: )وَالْمُكَفَّرُ الصَّغَائِرُ دُونَ الْكَبَائِرِ( . قَالَ صَاحِبُ الذَّخَائِرِ: وَهَذَا مِنْهُ تَحَكُّمٌ يَحْتَاجُ إلَى دَلِيلٍ وَالْحَدِيثُ عَامٌّ وَفَضْلُ اللَّهِ وَاسِعٌ لَا يُحْجَرُ. قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» : هَذَا قَوْلٌ عَامٌّ يُرْجَى أَنَّهُ يُغْفَرُ لَهُ جَمِيعُ ذُنُوبِهِ صَغِيرُهَا وَكَبِيرُهَا

Artinya: “Al-Imam al-Haramain berkata, yang dilebur adalah dosa-dosa kecil, bukan dosa-dosa besar. Berkata pengarang kitab al-Dzakhair, ini adalah vonis sepihak dari al-Imam al-Haramain yang butuh dalil, padahal haditsnya umum dan anugerah Allah SWT luas tak terbendung. Ibnu al-Mundzir berkata di dalam sabda Nabi SAW Barangsiapa beribadah (salat tarawih) di bulan Ramadan seraya beriman dan ikhlas, maka diampuni baginya dosa yang telah lampau, ini adalah perkataan yang umum, diharapkan terampuninya seluruh dosa-dosa bagi pengamalnya, dosa kecil dan besar” (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 206).

Wallahu A’lamu Bissowab

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here