Beranda Kajian Fiqih Islam Niat Puasa Ramadan

Niat Puasa Ramadan

238
0
Niat Puasa Ramadan

Aminsaja.com Niat Puasa Ramadan. Niat puasa wajib tempatnya di dalam hati pada malam hari seperti puasa Ramadan, puasa nazar, dan qadha. Sebagaimana yang diterangkan berikutini:

فذهب جماعة من أصحاب أبي حنيفة والشافعي وأحمد إلى استحباب التلفظ بها، واستدلوا لذلك بالمنقول من تلفظ النبي صلى الله عليه وسلم بالتلبية لعمرته وحجه، وقاسوا عليها بقية العبادات، وبالمعقول وهو أن اجتماع عضوين، وهما: القلب واللسان في العبادة أولى من إعمال عضو واحد

Artinya: “Berpendapat sekumpulan ulama yaitu dari kalangan pengikutnya Imam Abu Hanifah, Imam Syafie dan Imam Ahmad, bahwa melafalkan niat hukumnya sunah, dan mereka mengacu pada dalil manqul yang dilafalkan oleh Rasulullah SAW sambil membaca Talbiyah untuk umrah dan hajinya, dan ulama juga mengkiyaskan niat yang dilafalkan oleh Rasulullah SAW pada niat ibadah-ibadah yang lain. Sedangkan dengan dalil ma’qul, sesungguhnya dua anggota (hati dan lisan) digunakan dalam satu ibadah, lebih utama dari menggunakan satu anggota”.

Adapun lafal niat puasa sangat dianjurkan. Berikut ini adalah beberapa redaksi lafal niat puasa yang dapat dibaca oleh seseorang yang punya kewajiban berpuasa di bulan suci Ramadan:

1. Kata “Ramadhana” dibaca Fathah Dan “Sanati” Di Baca Kasrah

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

Artinya: “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadan tahun ini karena Allah ta’ala.”

Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr dengan alasan lil mujawarah (bertetangga). (Dikutip dari Kitab Minhajut Thalibin)

2. Kata “Ramadan” Di baca Fathah Dan “Sanata” Di Baca Fathah

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةَ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanata lillāhi ta‘ālā

Artinya: “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadan tahun ini karena Allah ta’ala.”

Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanata” diakhiri dengan fathah sebagai tanda nashab atas kezharafannya.  (Dinukil dari Kitab Asnal Mathalib).

3. Kata “Ramadhani” Di Baca Kasrah Dan kata “Sanati” Di Baca kasrah

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā

Artinya: “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”

Kata “Ramadhani” dianggap sebagai mudhaf ilaihi yang juga menjadi mudhaf sehingga diakhiri dengan kasrah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr atas badal  kata “hādzihi” yang menjadi mudhaf ilaihi dari “Ramadhani”. (Dikutip dari Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam).

4. Kata “Ramadhani” Di Baca Fathah Jadi Mudhaf Ilaihi

 نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ

Nawaitu shauma Ramadhāna

Artinya: “Aku berniat puasa bulan Ramadan.” (Diambil dari dari Kitab I’anatut Thalibin).

5. Sebelum Kata “Ramadhana” Di Tambah Min Atau ‘An

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ/عَنْ رَمَضَانَ

Nawaitu shauma ghadin min/’an Ramadhāna

Artinya: “Aku berniat puasa esok hari pada bulan Ramadan.” (Diambil dari dari Kitab I’anatut Thalibin)

6. Kata “Sanati” Di Dahulukan Dari Pada Kata “Ramadhana”

نَوَيْتُ صَوْمَ الْغَدِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ

Nawaitu shaumal ghadi min hādzihis sanati ‘an fardhi Ramadhāna

Artinya: “Aku berniat puasa esok hari pada tahun ini perihal kewajiban Ramadan.”  (Dinukil dari Kitab Asnal Mathalib).

Perbedaan redaksi lafal ini tidak mengubah substansi lafal niat puasa Ramadan. Adapun redaksi lafal yang tampaknya sulit diterima menurut kaidah gramatikal bahasa Arab (nahwu) adalah komposisi sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَة لله تعالى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanatu lillāhi ta‘ālā

Redaksi lafal ini tampaknya sulit diterima menurut kaidah nawhu karena menganggap kata “Ramadhani” sebagai mudhaf dan diakhiri dengan “sanatu” yang entah apa kedudukan gramatikalnya karena agak jauh ta’wilnya untuk ditarik ke arah mana pun. Adapun argumentasi madzhab Syafi’i atas kewajiban niat puasa wajib di malam hari ditunjukkan antara lain oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna’-nya sebagai berikut:

 ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر 

Artinya, “Disyaratkan memasang niat di malam hari bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW, ‘Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.’ Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Iqna’, [Beirut, Darul Fikr: 2007 M/1428 H], juz II).

Wallahu A’lamu Bissowab



LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here