Aminsaja.com – Orang Zuhud Merasa Terganggu dengan Pujian Manusia. Zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat materi atau kemewahan duniawi dengan mengharap suatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akhirat. Zuhud dalam tasawuf adalah satu tingkatan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Arti Zuhud Secara Bahasa dan Istilah
Zuhud secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu. Dan secara istilah ialah meninggalkan kelezatan hidup duniawi yang sementara dan fana karena menginginkan kelezatan ukhrawi (akhirat ) yang lebih baik dan kekal, jika yang ditinggalkan itu adalah sesuatu yang tidak disukai sama sekali karena tidak ada harganya. Sebagai firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an sebagai berikut:
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui”. (QS. Al-‘Ankabut [29]:64).
Dan juga dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW tentang perilaku orang zuhud. Sebagai berikut: “Orang beriman makan dengan satu usus, sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
Zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi. Akan tetapi, zuhud sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Dengan demikian, walaupun Nabi Sulaiman atau Utsman bin Affan kaya raya, mereka tetap sebagai orang yang zuhud dan hidup dalam keadaan zuhud. Mereka tidak terpengaruh oleh kekayaan yang dimiliki dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Inilah pemahaman makna zuhud yang disepakati oleh para ulama. Harta benda tidak dilarang untuk dimiliki, tetapi harta tersebut tidak boleh mempengaruhi atau memperbudak seseorang dalam mengabdikan dirinya kepada Allah SWT.
Cara Menerapkan Perilaku Zuhud
Para sahabat rasul juga berperilaku zuhud. Abu Bakar As-Siddiq adalah sahabat yang membuang jauh dunia untuk menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. Dalam kurun waktu enam tahun, Abu Bakar tidak menambah satu pun baju. Umar bin Khattab juga berperilaku zuhud dalam kehidupannya.
Ketika diangkat menjadi khalifah, Umar bin Khattab berpidato di depan rakyat. Umar memakai celana atau sarung dengan tambalan di dua belas tempat. Baju yang dipakai Umar telah ditambal di empat tempat. Umar tidak memiliki pakaian ganti sehingga beliau memakai pakaian tersebut.
Perilaku zuhud juga dapat dilihat pada kehidupan Utsman bin Affan. Utsman adalah seorang sahabat yang mencintai Al-Qur’an. Siang hari Utsman berpuasa dan pada malam hari waktunya dihabiskan untuk menunaikan salat. Kezuhudan Utsman juga dapat dilihat dari kebiasaannya memberi makanan yang lezat kepada fakir miskin dan kaum muslimin. Sementara itu, Utsman hanya mengonsumsi cuka dan minyak. Padahal kita tahu bahwa Utsman adalah saudagar yang kaya raya. Utsman dapat hidup bermewah-mewahan. Akan tetapi, beliau lebih memilih hidup dalam kezuhudan.
Perilaku zuhud juga dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap tidak menganggap penting dunia dan mementingkan akhirat merupakan wujud perilaku zuhud. Perilaku zuhud yang dijalankan bukan alasan untuk bermalas-malasan belajar dan menuntut ilmu. Perilaku zuhud hendaknya mendorongmu belajar lebih giat karena ilmu dapat mengantarkan kita mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Tanpa ilmu seseorang sulit untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dan orang zuhud tidak mau dipuji karena hal tersebut akan mengurangi kedudukan di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, etikanya, harus memuji Allah SWT yang memang layak dipuji agar hal itu menjadi syukur atas nikmat ditutupnya tirai dari mereka dan banyaknya lisan yang memuji kendati mereka tidak layak mendapatkannya. Oleh sebab itu, mereka tidak mau tertipu dan terpesona oleh ucapan orang-orang yang memuji mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Atho illah Al-Iskandari dalam kitab Al-Hikam sebagai berikut:
إذا أطلق الثناء عليك, ولست بأهل فأثن عليه بما هو أهله
“Jika kau mendapat pujian, sedangkan kau tidak layak atasnya, pujilah Allah sebagai Dzat yang memang layak menyandangnya”.
Perilaku Orang Zuhud
Jika orang-orang zuhud (orang yang tidak suka dunia) dipuji, mereka akan gelisah karena merasa pujian itu dari makhluk, bukan dari Allah SWT. Dan mereka gelisah karena takut tertipu oleh pujian itu sehingga kedudukan mereka di sisi Allah SWT akan hilang. Imam Atho’illah menjelaskan:
الزهاد إذا مدحوا انقبضوا لشهودهم الثناء من الحق
“Jika kaum zuhud mendapat pujian, hati mereka resah karena mereka melihat pujian tersebut berasal dari makhluk”.
Perilaku Orang Arif
Sebaliknya, jika orang-orang arif dipuji, mereka akan senang karena merasa bahwa pujian itu dari Allah SWT yang Maha Haq. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Atho’illah Al-Iskandari dalam kitab Al-Hikam sebagai berikut:
والعارفون إذا مدحوا انبسطوا لشهودهم ذلك من الحق
“Dan ketika kaum arif dipuji, hati mereka senang karena mereka melihatnya berasal dari Allah Yang Maha haq”.
Mereka selalu hadir bersama Tuhannya dan tidak menyaksikan kecuali dzat-Nya. Jika mereka dipuji, mereka menganggap pujian itu dari Allah, karena itu mereka senang dan bahagia. Itu yang membuat tinggi ahwal (perilaku) dan kedudukannya karena mereka tidak lagi menyadari diri sendiri. Dengan demikian, mereka tidak lagi merasa ujub (sombong) dan tertipu.
Ini sesuai sabda Rasulullah SAW. “Jika seorang mukmin dipuji di hadapannya, keimanan akan bertambah dalam hatinya”.
Oleh sebab itu, Ibnu Atho’illah memuji gurunya, Al-Mursi, dan beliau tetap diam. Pada dirinya, pujian itu menduduki tempat yang agung. Seperti itulah yang dialami kaum arif lainnya. Para pemilik maqam (kedudukan yang tinggi di hadapan Allah SWT) ini, jika dicela dan dihina, mereka tidak akan merasa resah, kecewa, atau sakit hati karena tidak merasa bahwa celaan itu berasal dari orang yang mencelanya.
Wallahu A’lam Bissowab