Beranda Umroh & Haji Sunah-sunah Dalam Ibadah Haji

Sunah-sunah Dalam Ibadah Haji

102
0
Sunah sunah Dalam Ibadah Haji

Aminsaja.comSunah-sunah Dalam Ibadah Haji. Ibadah haji terdiri atas rukun, wajib, dan sunah. Dari semua ini yang membuat ibadah haji menjadi sempurna. Dan dari masing-masing semua itu memiliki konsekuensi yang berbeda-beda. Sebagian darinya berimplikasi serius bagi manasik haji jemaah yang bersangkutan.

Syekh Abu Syuja dari mazhab Syafi’i dalam Taqrib-nya menerangkan tujuh hal yang menjadi sunah-sunah haji:

1. Ifrad, Ifrad adalah mendahulukan haji dari pada umrah.

2. Talbiyah, Talbiyah adalah membaca (“Labbaik allahumma labbaik”).

3. Thawaf qudum

4. Mabit di Muzdalifah.

5. Salat sunah thawaf sebanyak dua rakaat

6. Mabit di Mina.

7. Thawaf wada.

Namun demikian, pandangan Abu Syuja diberi catatan oleh para ulama Syafiiyah sesudahnya. KH Afifuddin Muhajir mendokumentasikan catatan verifikasi para ulama Syafiiyah tersebut. Menurutnya, sebagian sunah haji yang disampaikan Syekh Abu Syuja masuk ke dalam wajib haji, bukan sunah haji.

و الرابعة (المبيت بمزدلفة) ليلة النحر. وعده من السنن مرجوح والمعتمد أنه واجب

Artinya: “Keempat (mabit di Muzdalifah) pada malam nahar (9 Dzulhijjah). Pendapat yang menganggap mabit di Muzdalifah ini lemah. Menurut pendapat yang muktamad, mabit di Muzdalifah itu masuk wajib haji,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91). Kiai Afif mengatakan bahwa pendapat yang memasukkan mabit di Muzdalifah sebagai sunah haji lemah. Pendapat yang dapat diandalkan menempatkan mabit di Muzdalifah sebagai wajib haji. Catatan ini juga dinyatakan perihal kesunahan mabit di Mina pada malam-malam hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).

السادسة (المبيت بمنى) ليالي أيام التشريق الثلاثة والمعتمد أنه واجب

Artinya: “Keenam (mabit di Mina) pada malam-malam Tasyriq. Menurut pendapat yang muktamad, mabit di Mina itu masuk wajib haji,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91). Catatan Kiai Afif terakhir perihal sunah-sunah haji adalah tawaf wada‘. Thawaf wada‘ merupakan wajib haji menurut pandangan ulama syafi’iyah yang lebih shahih.

والسابعة (طواف الوداع) عند إرادة الخروج من مكة، والمعتمد أن طواف الوداع واجب

Artinya: “Ketujuh (tawaf wada‘) ketika ingin meninggalkan Kota Makkah. Menurut pendapat yang muktamad, thawaf wada‘ itu masuk wajib haji,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91).

Jadi sunah-sunah haji menurut pendapat ulama Syafi’iyah yang muktamad adalah sebagai berikut:

1. Ifrad, yaitu mendahulukan haji dibandingkan umrah.

2. Talbiyah.

3. Thawaf qudum.

4. Salat sunah thawaf sebanyak dua rakaat.

Adapun salat sunah thawaf sebanyak dua rakaat dilakukan setelah thawaf. Salat sunah thawaf dapat dilakukan di mana saja di tanah haram. Tetapi sedapat mungkin salat sunah thawaf ini dilakukan di belakang maqam Ibrahim. 

والخامسة (ركعتا الطواف) أي ركعتان بعد الفراغ من الطواف ويصليهما خلف المقام، فإن لم يتيسر ففي الحجر فإن لم يتيسر ففي المسجد فإن لم يتيسر فحيث شاء من الحرم

Artinya: “Kelima (salat dua rakaat thawaf), yaitu dua rakaat setelah selesai thawaf. Shalat sunnah thawaf dilakukan di belakang maqam Ibrahim. Kalau tidak mungkin, maka salat sunah thawaf dilakukan di Hijir Ismail. Kalau tidak mungkin, shalat sunnah thawaf dilakukan di masjid. Kalau tidak mungkin, maka salat sunah thawaf dilakukan di mana saja di tanah haram,” (Lihat KH Afifuddin Muhajir, Fathul Mujibil Qarib, [Situbondo, Al-Maktabah Al-Asadiyyah: 2014 M/1434 H] halaman 91). Adapun salat sunah thawaf dilakukan sebagaimana salat sunah pada umumnya. pembacaan Al-Qur’an dalam salat sunah thawaf juga dilakukan sebagaimana salat pada lazimnya.

ـ (ويسر بالقراءة فيهما نهارا) إلا ما بعد الفجر (ويجهر بها ليلا) وما بعد طلوع الفجر إلى طلوع الشمس

Artinya: “(Al-Qur’an dibaca perlahan (sirr) pada salat sunah thawaf di siang hari) kecuali setelah fajar. (Al-Qur’an dibaca lantang (jahar) di malam hari) dan setelah terbit fajar hingga terbit matahari,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Tausyih ala Ibni Qasim, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, halaman 123).

Wallahu A’lamu Bissowab




LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here